Kamis, 08 April 2010

Hadapi CAFTA, Pemerintah Perlu Perjelas Strategi

Hadapi CAFTA, Pemerintah Perlu Perjelas Strategi

Jakarta - Pelaksanaan perjanjian kawasan perdagangan bebas China-Asean alias China -ASEAN Free Trade Area (CAFTA) harus dibarengi dengan politik ekonomi pemerintah yang jelas dan tegas, khususnya untuk membangun daya saing dari keuntungan kompara- tif menjadi keuntungan yang kompetitif.

NERACA
Disisi lain, pemerintah harus fokus mengembangkan industri berbasis teknologi untuk mempertahankan dan membangun daya saing produk dalam negeri guna menghadapi CAFTA. Demikian benang merah dari seminar bertema Great Solution in CAFTA era Trust Your Intuition and Explode Creativity yang diselenggarakan PPM Manajemen di Jakarta, Rabu (17/2).

Dari sisi populasi CAFTA merupakan FTA terbesar di dunia Indonesia sebagai anggota Asean dengan penduduk paling besar bisa dipastikan akan menjadi sasaran utama bagi produk-produk China. Kondisi ini cenderung bakal menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai pasar, sehingga dikhawatirkan kurang dapat memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia.

Padahal, sebelum CAFTA diberlakukan saja, pasar domestik Indonesia sudah dibanjiri produk-produk China. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik turun dari 57% pada tahun 2005 menjadi 23% pada tahun 2008. "China merupakan ancaman bagi Indonesia," kata ekonom dari Manajemen PPM, Dr. Pepey Riawati Kurnia, MM.

Ia menjelaskan, China dapat leluasa menjual produk ke Indonesia karena berani menawarkan harga yang jauh lebih murah ketimbang produk domestik. Menurut Pepey, Masyarakat jangan terlalu terlena dengan keadaan yang sekarang. "Indonesia saat ini memerlukan Entrepreneur atau Wirausaha sejati untuk menangkis serbuan produk China ke Indonesia. Namun jika kita punya seorang entrepreneur, apakah pemerintah juga akan mensupport?? tanyanya.

Pepey mengakui, saat ini negara kita terdapat kekurangan untuk bersaing di ASEAN khususnya China, yaitu 4 P, Product, Place, Price, dan Promotion. Walaupun demikian, CEO PT Datascrip, Joe Ramdani mengatakan, Indonesia masih mepunyai kekuatan, yang salah satunya sumber daya alam yang tersedia. Dengan kekuatan tersebut, Ia berharap ancaman terhadap barang-barang domestik yang tidak mampu bersaing dengan barang-barang CAFTA, dapat sedikit menolong.

"Seharusnya pemerintah menciptakan kondisi dan situasi yang kondusif," kata Joe. Selain itu pemerintah juga perlu memasarkan Indonesia dari segi budaya, pariwisata, sumber daya manusia, dan juga investasi. Menurutnya, pemerintah sudah terlambat 10 tahun apabila ingin bersaing dengan China. Padahal Malaysia saja, sejak 30 tahun lalu sudah memikirkan persoalan ini dengan serius. Kendari begitu, apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah, harus dijalankan tanpa melihat ada atau tidaknya CAFTA.
Di tempat terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, saat ini pembicaraan ulang perdagangan bebas China-ASEAN masih berlangsung dan belum ada kesimpulan yang didapat dari pembicaraan tersebut karena prosesnya masih berjalan. "Kita optimis dan apa yang menjadi kekhawatiran akan bisa kita atasi. Tapi ada prosesnya di mana dalam pembicaraan ulang belum ada kesimpulan yang diambil, maka kita belum bisa mengklaim keputusan apa-apa," ujarnya.

Hatta mengharapkan, pembicaraan mengenai perdagangan bebas tidak hanya terpaku pada pembicaraan ulang, karena menurut dia, ada hal yang lebih penting seperti bagaimana untuk memperkuat struktur industri nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar